“Ya, demi mewujudkan keinginan untuk membangun panti asuhan, saya rela
menjual sepeda motor Honda 70,” tegas Drs. Budi Parjiman, A.Ma, Pengasuh
Panti Asuhan dan Pondok Pesantren Sinar Melati 1 Yogyakarta. Bermodal
awal uang empat ratus ribu rupiah hasil penjualan sepeda motor, kini
Panti Asuhan Sinar Melati telah berkembang menjadi dua puluh lima cabang
yang tersebar di belahan provinsi DI Yogyakarta, hingga terjauh di
Mantingan, Ngawi, Jawa Timur.
Menilik perkembangan Yayasan Sinar
Melati kini, pengorbanan Budi terasa istimewa. “Padahal itu satu-satunya
motor yang saya punya dan kendaraan untuk mengajar dan berdakwah,”
kenang Budi atas keputusan yang diambilnya pada tahun 1994. Semangat
memberdayakan anak yatim tidak diperoleh Budi begitu saja. Susah dan
derita yang ia lalui di masa remaja, menyulutnya untuk menolong sesama,
terutama anak-anak usia sekolah.
Budi lahir dari keluarga dengan
kemampuan ekonomi pas-pasan. Ayahnya, Pawiro Utomo, hanyalah tukang
batu, dan ibunya, Panut, bekerja sebagai buruh tani berupah minim.
Keduanya mesti membiayai enam anak, Budi salah satunya. Menghadapi
kenyataan yang menghampar, Budi tidak takluk begitu saja dan ia bertekad
untuk menempuh pendidikan formal setinggi-tingginya. Sembari bekerja
serabutan, Budi mampu merampungkan jenjang strata satu (sarjana) di
jurusan Teknologi Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta.
Lulus
kuliah ia bekerja sebagai Guru di Sekolah Dasar Negeri Ndayu, Pakem,
Sleman, Yogyakarta. Saat itulah Budi menjumpai beberapa anak didiknya
tidak sanggup membayar uang sekolah. Realitas pahit itu mengingatkannya
akan masa silam yang susah. “Kok mirip dengan saat saya kecil ya,”
tuturnya mengenang.
Peristiwa itu ternyata mampu mengubah
perjalanan hidup Budi selanjutnya. Dalam terma psikologi, momentum
tersebut adalah sebuah epifani, yaitu peristiwa istimewa dalam kehidupan
seseorang yang menjadi titik balik dalam kehidupannya. Pengaruhnya
variatif, bisa negatif atau positif, tergantung juga dengan ukuran
epifaninya, apakah besar atau kecil.
Epifani dalam skala kecil
itulah yang menyulut niat Budi untuk menyantuni anak-anak yang diuji
oleh takdir Tuhan dengan ditinggal mati orang tuanya dan lantas
tersisihkan dari pusaran sosial politik. Budi bersama empat rekannya
berinisiatif membentuk jamaah pengajian keliling “Sinar Melati”. “Salah
satu program jamaah ialah menyantuni dan memberikan beasiswa bagi
anak-anak yatim,” tegas Budi.
(Bangunan Panti Sinar Melati pertama)
Tahun
1993, niat luhurnya mulai menarik perhatian dermawan. Tiba-tiba ia
didatangi seseorang yang mewakafkan tanah dan bangunan kecil miliknya di
Dukuh Sedan, Sariharjo, Ngaglik, Sleman untuk pengasuhan anak-anak
yatim. Dengan tekad mantap, ia dibantu empat rekannya memulai proses
pembangunan. “Berbekal uang empat ratus ribu hasil jualan motor,
bangunan ini sekarang nilainya empat ratus jutaan mas,” kelakar Budi
berjumawa. “Sebelum diwakafkan, rumah itu sudah ditempati sembilan anak
asuh, dan saya juga sudah membiayai dua puluh sembilan anak asuh,” kisah
Budi. Di lokasi inilah ia kini tinggal bersama keluarga dan ratusan
anak asuhnya.
Bangunan yang terletak sekitar enam ratus meter
sebelah utara Monumen Jogja Kembali (Monjali) merupakan cikal bakal bagi
cabang-cabang lain. Awalnya, Sinar Melati di Sedan sepenuhnya menganut
konsep Panti Asuhan, namun dalam perkembangannya diformat pula sebagai
pondok pesantren. “Kurikulum pendidikan di sini meliputi Alquran, hadis,
tafsir, fiqh, akhlaq, dan lain-lain. Ya seperti pesantren pada umumnya.
Kita tambahi juga dengan keterampilan elektronik, pertukangan, dan
pertanian. Bedanya di sini gratis,” urai Budi panjang lebar.
Tahun
2002 adalah awal kali Sinar Melati membuka cabang, tepatnya di daerah
Pakem Sleman. Setelah itu lahir di beberapa tempat lain menyusul
beberapa dermawan yang mewakafkan tanahnya kepada Yayasan Sinar Melati
untuk dijadikan panti asuhan, atau setidaknya menjadi cabang Sinar
Melati yang dikelola secara otonom, hingga sekarang telah ada Panti
Sinar Melati 25.
Ketika ditanya bagaimana relasi antara Sinar
Melati 1 dengan cabang-cabangnya, dan antar cabang-cabang, Budi
menjawab, “Saya menganut sistem shalat jamaah, saling menutupi. Kalau
ada yang kurang, yang lain wajib menutupi. Bahasa moderennya sistem
subsidi silang, jadi kalau misalkan ada cabang yang kehabisan beras,
kekurangan guru, ya sini bantu. Begitu pun sebaliknya.”
Perkembangan
pesat yang didapat Panti Sinar Melati bukannya tanpa aral. Pernah suatu
waktu sebelum berdirinya cabang-cabang, Panti pernah dua kali kehabisan
stok logistik. Padahal untuk kebutuhan beras saja mencapai 3-4 ton per
bulan. Budi yang sejak awal meyakini bahwa niatnya pasti akan ditolong
oleh Allah, berpasrah dan sumeleh, “Saya minta ke Allah. Saya punya
andalan shalat, kalau adzan segera datang, karena itu panggilan Allah.
Kalau Allah memanggil pasti memberi,” cetus Budi.
Dengan prinsip
itu pula, kendati Budi memiliki unit usaha mini market, pabrik sarung
tangan, dan persewaan gedung futsal, ia tidak berani mengandalkannya
untuk membiayai keberlangsungan Panti Asuhan. Baginya, hal itu sekadar
memenuhi kewajiban ikhtiar saja, namun yang ia andalkan sepenuhnya ialah
ketakwaan dan kepasrahan kepada Allah. Prinsip Budi, “Siapa yang
menolong hamba-Nya pasti Allah akan menolongnya”.
Budi berkisah,
suatu kali ia cuma memiliki uang sepuluh ribu rupiah, di tengah jalan ia
berjumpa dengan lelaki pemecah bata yang terlihat sangat memelas. Ia
pun memberikan uang tersebut. “Saya yakin dan mantap, Allah akan
menggantinya. Betul setelah itu saya dapat ganti berpuluh-kali lipat,”
tukas Budi. Maka ia pun tak khawatir saat memutuskan pensiun lebih dini
dari profesinya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) guru dan bertekad
mengabdikan hayat tuanya untuk mendampingi anak-anak yatim.
Budi
sangat bersyukur atas hasil jerih payahnya. Panti Asuhan dan Pondok
Pesantren Sinar Melati I secara keseluruhan sudah meluluskan empat ribu
alumni dari berbagai level pendidikan, terbanyak jenjang SMU. Sedang
yang lulus dengan status sarjana berjumlah enam puluh tujuh orang.
Bahkan sekarang sedang membiayai satu anak asuh untuk menempuh kuliah
pascasarjana di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Ya, atas kerja
keras Budi, empat ribu anak yang kurang beruntung dan tersisihkan mampu
mengenyam bangku pendidikan yang layak. Jika empat ribu alumni tersebut
berkesadaran yang sama dengan Budi untuk memberdayakan anak yatim, maka
berapa banyak anak-anak lain yang bernasib sama, akan menikmati indahnya
masa sekolah. Sejauh ini pun sebagian pengasuh di cabang Sinar Melati
adalah alumni.
Alasan Budi memakai nama bunga “Melati” karena
wujudnya yang putih, bersih, dan harum. Lantaran itulah, hampir seluruh
orang menyukainya. Begitupun “Sinar Melati” diharapkan bisa diterima
seluruh khalayak. Eksistensi dua puluh lima Panti Asuhan dan Pondok
Pesantren Sinar Melati setidaknya sudah memenuhi cita ideal tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar