Minggu, 16 Juni 2013

Sejarah Panti Asuhan Sinar Melati, Sleman, DIY

“Ya, demi mewujudkan keinginan untuk membangun panti asuhan, saya rela menjual sepeda motor Honda 70,” tegas Drs. Budi Parjiman, A.Ma, Pengasuh Panti Asuhan dan Pondok Pesantren Sinar Melati 1 Yogyakarta. Bermodal awal uang empat ratus ribu rupiah hasil penjualan sepeda motor, kini Panti Asuhan Sinar Melati telah berkembang menjadi dua puluh lima cabang yang tersebar di belahan provinsi DI Yogyakarta, hingga terjauh di Mantingan, Ngawi, Jawa Timur.

Menilik perkembangan Yayasan Sinar Melati kini, pengorbanan Budi terasa istimewa. “Padahal itu satu-satunya motor yang saya punya dan kendaraan untuk mengajar dan berdakwah,” kenang Budi atas keputusan yang diambilnya pada tahun 1994. Semangat memberdayakan anak yatim tidak diperoleh Budi begitu saja. Susah dan derita yang ia lalui di masa remaja, menyulutnya untuk menolong sesama, terutama anak-anak usia sekolah.

Budi lahir dari keluarga dengan kemampuan ekonomi pas-pasan. Ayahnya, Pawiro Utomo, hanyalah tukang batu, dan ibunya, Panut, bekerja sebagai buruh tani berupah minim. Keduanya mesti membiayai enam anak, Budi salah satunya. Menghadapi kenyataan yang menghampar, Budi tidak takluk begitu saja dan ia bertekad untuk menempuh pendidikan formal setinggi-tingginya. Sembari bekerja serabutan, Budi mampu merampungkan jenjang strata satu (sarjana) di jurusan Teknologi Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta.

Lulus kuliah ia bekerja sebagai Guru di Sekolah Dasar Negeri Ndayu, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Saat itulah Budi menjumpai beberapa anak didiknya tidak sanggup membayar uang sekolah. Realitas pahit itu mengingatkannya akan masa silam yang susah. “Kok mirip dengan saat saya kecil ya,” tuturnya mengenang.

Peristiwa itu ternyata mampu mengubah perjalanan hidup Budi selanjutnya. Dalam terma psikologi, momentum tersebut adalah sebuah epifani, yaitu peristiwa istimewa dalam kehidupan seseorang yang menjadi titik balik dalam kehidupannya. Pengaruhnya variatif, bisa negatif atau positif, tergantung juga dengan ukuran epifaninya, apakah besar atau kecil.

Epifani dalam skala kecil itulah yang menyulut niat Budi untuk menyantuni anak-anak yang diuji oleh takdir Tuhan dengan ditinggal mati orang tuanya dan lantas tersisihkan dari pusaran sosial politik. Budi bersama empat rekannya berinisiatif membentuk jamaah pengajian keliling “Sinar Melati”. “Salah satu program jamaah ialah menyantuni dan memberikan beasiswa bagi anak-anak yatim,” tegas Budi.

(Bangunan Panti Sinar Melati pertama)
Tahun 1993, niat luhurnya mulai menarik perhatian dermawan. Tiba-tiba ia didatangi seseorang yang mewakafkan tanah dan bangunan kecil miliknya di Dukuh Sedan, Sariharjo, Ngaglik, Sleman untuk pengasuhan anak-anak yatim. Dengan tekad mantap, ia dibantu empat rekannya memulai proses pembangunan. “Berbekal uang empat ratus ribu hasil jualan motor, bangunan ini sekarang nilainya empat ratus jutaan mas,” kelakar Budi berjumawa. “Sebelum diwakafkan, rumah itu sudah ditempati sembilan anak asuh, dan saya juga sudah membiayai dua puluh sembilan anak asuh,” kisah Budi. Di lokasi inilah ia kini tinggal bersama keluarga dan ratusan anak asuhnya.

Bangunan yang terletak sekitar enam ratus meter sebelah utara Monumen Jogja Kembali (Monjali) merupakan cikal bakal bagi cabang-cabang lain. Awalnya, Sinar Melati di Sedan sepenuhnya menganut konsep Panti Asuhan, namun dalam perkembangannya diformat pula sebagai pondok pesantren. “Kurikulum pendidikan di sini meliputi Alquran, hadis, tafsir, fiqh, akhlaq, dan lain-lain. Ya seperti pesantren pada umumnya. Kita tambahi juga dengan keterampilan elektronik, pertukangan, dan pertanian. Bedanya di sini gratis,” urai Budi panjang lebar.

Tahun 2002 adalah awal kali Sinar Melati membuka cabang, tepatnya di daerah Pakem Sleman. Setelah itu lahir di beberapa tempat lain menyusul beberapa dermawan yang mewakafkan tanahnya kepada Yayasan Sinar Melati untuk dijadikan panti asuhan, atau setidaknya menjadi cabang Sinar Melati yang dikelola secara otonom, hingga sekarang telah ada Panti Sinar Melati 25.

Ketika ditanya bagaimana relasi antara Sinar Melati 1 dengan cabang-cabangnya, dan antar cabang-cabang, Budi menjawab, “Saya menganut sistem shalat jamaah, saling menutupi. Kalau ada yang kurang, yang lain wajib menutupi. Bahasa moderennya sistem subsidi silang, jadi kalau misalkan ada cabang yang kehabisan beras, kekurangan guru, ya sini bantu. Begitu pun sebaliknya.”

Perkembangan pesat yang didapat Panti Sinar Melati bukannya tanpa aral. Pernah suatu waktu sebelum berdirinya cabang-cabang, Panti pernah dua kali kehabisan stok logistik. Padahal untuk kebutuhan beras saja mencapai 3-4 ton per bulan. Budi yang sejak awal meyakini bahwa niatnya pasti akan ditolong oleh Allah, berpasrah dan sumeleh, “Saya minta ke Allah. Saya punya andalan shalat, kalau adzan segera datang, karena itu panggilan Allah. Kalau Allah memanggil pasti memberi,” cetus Budi.

Dengan prinsip itu pula, kendati Budi memiliki unit usaha mini market, pabrik sarung tangan, dan persewaan gedung futsal, ia tidak berani mengandalkannya untuk membiayai keberlangsungan Panti Asuhan. Baginya, hal itu sekadar memenuhi kewajiban ikhtiar saja, namun yang ia andalkan sepenuhnya ialah ketakwaan dan kepasrahan kepada Allah. Prinsip Budi, “Siapa yang menolong hamba-Nya pasti Allah akan menolongnya”.

Budi berkisah, suatu kali ia cuma memiliki uang sepuluh ribu rupiah, di tengah jalan ia berjumpa dengan lelaki pemecah bata yang terlihat sangat memelas. Ia pun memberikan uang tersebut. “Saya yakin dan mantap, Allah akan menggantinya. Betul setelah itu saya dapat ganti berpuluh-kali lipat,” tukas Budi. Maka ia pun tak khawatir saat memutuskan pensiun lebih dini dari profesinya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) guru dan bertekad mengabdikan hayat tuanya untuk mendampingi anak-anak yatim.

Budi sangat bersyukur atas hasil jerih payahnya. Panti Asuhan dan Pondok Pesantren Sinar Melati I secara keseluruhan sudah meluluskan empat ribu alumni dari berbagai level pendidikan, terbanyak jenjang SMU. Sedang yang lulus dengan status sarjana berjumlah enam puluh tujuh orang. Bahkan sekarang sedang membiayai satu anak asuh untuk menempuh kuliah pascasarjana di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Ya, atas kerja keras Budi, empat ribu anak yang kurang beruntung dan tersisihkan mampu mengenyam bangku pendidikan yang layak. Jika empat ribu alumni tersebut berkesadaran yang sama dengan Budi untuk memberdayakan anak yatim, maka berapa banyak anak-anak lain yang bernasib sama, akan menikmati indahnya masa sekolah. Sejauh ini pun sebagian pengasuh di cabang Sinar Melati adalah alumni.

Alasan Budi memakai nama bunga “Melati” karena wujudnya yang putih, bersih, dan harum. Lantaran itulah, hampir seluruh orang menyukainya. Begitupun “Sinar Melati” diharapkan bisa diterima seluruh khalayak. Eksistensi dua puluh lima Panti Asuhan dan Pondok Pesantren Sinar Melati setidaknya sudah memenuhi cita ideal tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar